Beratnya Kekalahan Politik


| Seri catatan Pemilu 2019

sumber : kompas


Kerja penyelenggara pemilu 2019 memang sangat berat. Dari pagi ke pagi. Bahkan ada yang dua hari tidak tidur, petugas KPPS terutama. Tak sedikit yang kesehatannya langsung drop, terutama yang agak berumur.

Bayangkan saja, mempersiapkan TPS dari subuh, dan selesai penghitungan jelang subuh hari berikutnya. Apalagi yang malam sebelumnya tidak sempat tidur. Dobel-dobel capeknya.

Kerja fisik yang luar biasa, demi agar demokrasi berjalan baik, terutama dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Meski bukan hanya KPPS yang tidak tidur, para saksi juga, pengawas, atau pemantau. Termasuk utusan quick count (hitung cepat), juga polisi, dan mungkin banyak lainnya.

“Kami juga lelah,” sahut teman saya, yang seorang tim sukses. Katanya, mereka kerja berbulan-bulan. Apalagi, masa kampanye untuk pemilu 2019 ini begitu panjang. Tuntutan dari “bos” pun dobel-dobel.

Jika biasanya timses hanya untuk caleg, kali ini merangkap capres cawapres. Kerja rangkap-rangkap. Tuntutannya besar.

Namun, bukankah calegnya juga capek? Capek modal terutama. Capek dengan tuntutan partai juga, barangkali. 

Semua capek. Semua merasa terbebani, semua merasa berat.

Tambah berat lagi, jika kalah. Ya, meskipun tidak semua yang nyalon ingin menang. Tak sedikit yang iseng-iseng saja, atau diminta mengisi nomor-nomor yang masih kosong.

Teman saya, juga nyalon. Namun tidak ingin menang, juga tidak kampanye. Hanya diminta bapaknya, yang kebetulan tokoh partai. Partainya pun juga diragukan untuk lolos.

Lantas bagaimana yang menggebu-gebu untuk menang, dan sudah keluar modal besar, lalu kalah? Kekalahan politik itu berat. Tim sukses bekerja dari awal masa kampanye hingga pengawalan data yang sangat ketat.

Dari semua kerja pengawalan suara itu, suara capres cawapres menjadi sangat penting, karena memang menentukan sebuah jabatan yang super prestisius.

Data direkap secara hati-hati, dikawal sedemikian rupa, diprotes jika ada keganjilan. Uniknya, pada saat proses perhitungan dan pengumpulan suara sedang berlangsung, lembaga survey muncul lewat quick count mengabarkan hasil probablility sampling, menjawab rasa penasaran publik.

Meskipun hal tersebut bisa dipertanggung jawabkan, dan sudah terbukti sejak dua pemilu sebelumnya, dan beberapa kali pilkada, termasuk pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang memenangkan Anies-Sandi.

Beberapa lembaga survey tersebut punya rekam jejak yang akurat dengan margin eror tak lebih dari 2%, berdasarkan hasil yang diumumkan KPU.

Rasa tidak terima sebagian kontestan politik, yang dianggap kalah, memang bisa dimaklumi. Cukup beralasan. Mengingat betapa berat kerja politik yang selama ini dijalankan, dan saat proses pengumpulan hasil sedang berjalan, lembaga survey “mendahului takdir”.

Berat sekali menerima “pendahuluan takdir” tersebut. Maka dilakukanlah “pendahuluan takdir” juga, dengan klaim dan syukuran kemenangan. Padahal KPU masih akan mengumumkan sebulan berikutnya.

Saking beratnya kerja politik, takdir pun didahului. Padahal salah satunya pasti kalah. Tidak bisa menang semua. Tidak bisa sukses semua. Satu-satunya yang tetap sukses meksi tak menang, hanyalah tim sukses. []

Sabtu, 19 April 2019
Ahmad Fahrizal A
Klik bit.ly/catatanFahrizal

Tinggalkan komentar