Belajar Wawancara

Wawancara dengan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Cendekiawan Muslim. Mantan Rektor UIN Maliki Malang

Wawancara Prof. Dr. H. Mudjia Rahardja, M.Si, Rektor UIN Maliki Malang

Wawancara Prof. Dr. H. Baharudin, Direktur Pascasarjana UIN Malang.

Wawancara Prof. Dr. H. Djunaidi Ghony, Guru Besar UIN Malang

Itu beberapa wawancara yang dokumentasinya ada di file pribadi. Beberapa belum sempat saya pindah, seperti wawancara dengan Ibu Istianah Abubakar, dan Bapak Basri Zain, Ph.D. Juga beberapa wawancara yang saya hanya sebagai juru foto atau sekedar menemani wartawan lain.

Sebagian besar wawancara itu ketika saya aktif di Majalah Suara Akademika sejak tahun 2011. Awalnya hanya reporter biasa, yang mewawancarai peristiwa dan event-event terkait. Lalu, sejak pergantian kepala editor, saya mendapatkan tugas mengelola rubrik liputan utama, khusus, dan wawancara.

Karena itulah, saya sering melakukan wawancara. Wawancara pertama (yang sifatnya wawancara khusus full) adalah bersama Prof. Dr. Imam Suprayogo. Disambung dengan wawancara yang lain.

Wawancara dengan beberapa Profesor dan Doktor itu memberikan kesan tersendiri. Umumnya, mereka adalah orang-orang yang dididik dalam disiplin akademik yang tinggi. Karena tidak mungkin bisa sampai bergelar Profesor jika tidak disiplin.

Itupula yang membuat saya harus menyusun pertanyaan dengan baik, karena pertanyaan yang diajukan, jika sekiranya kurang tepat, juga akan menjadi obyek kritik tersendiri. Beberapa kali saya mengalami hal tersebut. Tapi entah kenapa tidak kapok. Mungkin karena saya menyadari perbedaan usia, termasuk pengalaman akademik. Kritik yang muncul kemudian saya jadikan koreksi pribadi.

Wawancara khusus sendiri memang berbeda dengan wawancara –atau lebih tepatnya meminta tanggapan– jika ada suatu peristiwa atau event. Misalkan, soal penerapan UKT (Uang Kuliah Tunggal), kita menemui WR II hanya untuk meminta respon.

Kalau wawancara khusus, lebih spesifik, lebih utuh terkait tema tertentu. Misal, wawancara dengan tema “Islam dan Peradaban”, “Kepemimpinan dalam Islam”, “Makna Idul Fitri” dll.

Jadi, kita lebih banyak meminta pandangan narasumber terkait tema yang diangkat, yang dijadikan bahasan di rubrik wawancara eksklusif.

Pembelajaran pentingnya, kita harus menyiapkan draft pertanyaan dengan baik, serta kemampuan bertanya, dan yang tak kalah penting adalah mental, karena bertemu tokoh sekaliber profesor.

Saya pun terus belajar sampai hari ini, untuk bisa membuat dialog yang menarik. Termasuk melakukan wawancara yang terkesan bukan wawancara.

Terima kasih sudah membaca. (*)

Blitar, 13 Agustus 2016
A Fahrizal Aziz

Tinggalkan komentar